Welcome to Akurasi Survei Indonesia.........

Akurasi Survei Indonesia (ASI) adalah konsultan politik dan bisnis yang berorientasi pada program bukan orientasi pencitraan dan bukan pula berorientasi proyek semata yang didirikan oleh GIH Foundation, yang selama ini dikenal sebagai lembaga nir laba yang berorientasi pada gerakan hijau (pro rakyat). Tim Akurasi Survei Indonesia (ASI) sebelumnya hanya berkontribusi besar dalam merancang dan menginisiasi sistem penjaringan dengan mengkombain pada program yang dibutuhkan rakyat saat ini (penjaringan secara cerdas, bermoral) tanpa money politic pada beberapa pilkada di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten dan kota di Indonesia secara nir laba.

Akurasi Survei Indonesia (ASI) mampu memilih dan memilah strategy yang paling sehat, cerdas dan tepat untuk mengatasi kendala yang dihadapi mitra baik individu, birokrasi, politisi, partai, korporat, maupun lembaga publik lainnya guna menyampaikan pesan secara efektif , persuasif atau penyampaian fakta kepada publik guna mencapai sasaran yang dikehendaki. Kami mengetahui bagaimana pelayanan yang efektif bagi para mitra yang berbasis kepentingan masyarakat.

Akurasi Survei Indonesia (ASI) pada sisi lain aktivitasnya khususnya dalam bermitra dengan pemerintah kab/kota/provinsi yaitu menginisiasi penyusunan dan sosialisasi perda, kerjasama antardaerah tertinggal dalam mengangkat potensinya, seperti mendeteksi, menciptakan, menyusun, mengawal sumber PAD baru bagi pemerintah kab/kota, khususnya potensi-potensi yang belum tergali dan berpihak pada masyarakat akar rumput.


Akurasi Survei Indonesia (ASI)

Politics & Bussines Professional Consultant
Centrum Building Jakarta (085215497331)
Jl. Majapahit UV/5 Jakarta Pusat-10160

Minggu, 29 Mei 2011

Calon PAN Menang di Pemilukada Bombana

Beritakendari.com-Bombana-Minggu (08/05/2011)- PEMILUKADA BOMBANA. Seorang warga menujukan kertas suara saat Pemilukada Bombana putaran ke-2 di Tps 3 Doule, Rumbia, Kabupaten Bombana, Sultra. Minggu (8/5). Pada putaran kedua Pemilukada Bombana tersebut dikuti 2 pasang calon bupati dan calon wakil bupati yakni pasangan Tafdil-Masyura Ida Ladamai dan pasangan Subhan Tambera-Abd Aziz Baking dengan jumlah wajib pilih yang akan menyalurkan hak suaranya sebanyak 100.985 wajib pilih dan pemungutan suara akan dilakukan di 310 TPS di 22 Kecamatan. Foto : Zed/Beritakendari.com
RUMBIA – Rapat pleno rekapitulasi perolehan suara terbanyak pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) di gelar di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Ketua KPU Bombana Alpian yang memimpin rapat menetapkan Tafdil-Masyura Ila Ladamay (Tamasya), calon yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai peraih suara terbanyak pada putaran kedua Pemilukada Bombana.
Berdasarkan rapat pleno penghitungan suara di 22 Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK), pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati nomor urut 2  meraih 39.051 suara atau 52,22 persen. Sedangkan rivalnya, Muhammad Subhan Tambera-Abdul Aziz Baking (Serasi), meraih 35.724 suara atau 47,78 persen dari 74.775 suara sah. Dengan hasil ini, Tamasya sudah pasti menjadi pemenang Pilkada Bombana karena unggul 3.327 suara atau 4,45 persen dari pasangan Serasi.
Sesuai rekapitulasi suara di KPU Bombana, Tamasya menang telak di dapil 2 Poleang. Dari delapan kecamatan yang ada, pasangan nomor urut dua ini meraih 21.811 suara. Sedangkan serasi hanya memperoleh 13.940 suara dari 35.752 suara sah di dapil Poleang. Ada beberapa kecamatan yang menjadi basis kemenangan Tafdil Masyura diantaranya, Kecamatan Poleang. Dari 8208 suara sah di daerah itu, Tamasya mendulang 6170 suara sementara Serasi hanya 2038 suara. Sedangkan suara tidak sah di Poleang 101 suara. Di Poleang Barat juga begitu, dari 6376 suara sah, Tamasya meraih 3551 suara, sementara Serasi 2825. Di Poleang Timur pun demikian, dari 4995 suara sah, Tamasya mengumpulkan 2703 suara sedangkan Serasi 2292.
Di dapil 1 Kabaena, Tamasya hanya unggul di Kecamatan Kabaena Barat. Dari 3852 yang memilih, Tamasya meraih 1971 suara sementara rivalnya Serasi 1881 suara. Sedangkan lima Kecamatan lainnya dikuasai pasangan nomor urut lima. Kecamatan Kabaena Timur misalnya, Serasi unggul 1852 suara sementara Tamasya hanya 1239 suara. Begitu juga di Kabaena Tengah, Serasi unggul 1181 suara sementara Tamasya 739 suara. Khusus di dapil 1 ini, Serasi mengumpulkan 7.833 suara sedangkan Tamasya 6.100 suara atau selisih 1.733 suara.
Di dapil 3 Rumbia/Rarowatu juga menjadi basis kemenangan Serasi. Dari delapan Kecamatan, Subhan Tambera-Aziz Baking menguasai 5 Kecamatan yakni Rumbia 3391 suara, Rumbia Tengah 1932 suara, Mataoleo 1856 suara,” Rarowatu 2328 suara, serta Kecamatan Matausu 420 suara. Sedangkan Tamasya hanya unggul di 3 Kecamatan saja yakni Lantari Jaya 2380, Rarowatu Utara 1871 suara serta Kecamatan Masaloka Raya 779 suara. Total suara yang dikumpulkan Serasi di dapil 3 yaitu 13.951 suara. Sementara Tamasya 11.140 suara atau selisih 2000 suara dari Serasi.
Sukarman AK, ketua tim pemenangan Tamasya mengatakan, pihaknya menerima dengan baik dan lapang dada hasil pleno rekapitulasi perolehan suara di 22 PPK yang diselenggarakan KPU, kemarin. Sebab, data yang diplenokan penyelenggara pemilu itu sama persis dengan data-data yang diterima para saksi Tamasya baik ditingkat TPS dan Kecamatan. “Tidak ada satupun angka-angka yang berubah, sehingga kami pun menerima dengan bulat,” katanya, usai rapat pleno sore kemarin di kantor KPU.
Anggota DPRD Sultra ini mengatakan dengan keluarnya keputusan KPU yang menetapkan Tamasya unggul 52,22 persen, maka Sukarman meminta kepada semua tim, pendukung dan simpatisannya untuk tetap tenang serta menjaga iklim yang kondusif. Dia juga melarang timnya untuk melakukan euvoria kemenangan dengan konvoi sehingga bisa memancing keributan sesama warga masyarakat Bombana. “Mari kita sambut kemenangan ini dengan rasa sukur kepada Allah. Karena apa yang Tamasya raih saat ini, merupakan kemenangan seluruh masyarakat Bombana,” ungkapnya.
Sementara Abustam, ketua tim pemenangan Serasi menuturkan, pihaknya memberikan apresiasi kepada semua warga Bombana karena pesta demokrasi lima tahunan yang lima kali tertunda ini bisa terselenggara dengan baik, aman dan lancar. Namun terkait hasil pleno rekapitulasi suara terbanyak kemarin, tim Serasi menolak semua hasil rekapan yang sudah dilaksanakan. “Kami tim Serasi menolak hasil rekapan pleno hari ini (kemarin), dengan tidak mengemukakan alasan-alasannya,” tutur Abustam saat diberi kesempatan menyampaikan pendapatnya usai rapat pleno.
Rapat pleno rekapitulasi suara digelar mulai pukul 10.00 wita dan berakhir pukul 16.00 wita. Rapat pleno tersebut berjalan lancar dan aman, serta mendapat pengamanan yang ketat dari personil Brimob, Dalmas dan Polres Bombana. Bahkan Kapolres Bombana, AKBP Arief Dwi Koeswandhono mengawal langsung proses rekapitulasi mulai awal hingga akhir. “Sukur Alhamdullillah, semuanya berjalan aman. Ini berkat kerja sama semua masyarakat,” ungkapnya. (nur/awa/jpnn)

Senin, 21 Maret 2011

Sentralisasi Versus Desentralisasi Pengelolaan Sampah


Sungguh kita semua akan mendapatkan hikmah yang besar dari bencana Longsor TPA Leuwigajah bila saja mampu mengambil khibarNya. Ketika bangsa ini didera berbagai persoalan, kesulitan ekonomi serta berbagai bencana besar lainnya, ada keuntungan tersembunyi (blesing in disguise) dengan terkemukanya masalah manajemen persampahan kota. Keberuntungan akan didapatkan bila, pengelolaan sampah berada pada kewenangan dan tanggungjawab yang tersebar di level Kecamatan, Kelurahan maupun RW berdasar pada sumber penghasil itu sendiri.
Kita perhatikan 2 (dua) info berikut :


Setiap kg sampah memerlukan biaya untuk membuangnya ke TPA, demikian juga sama halnya bila sampah didaur ulang menjadi barang baru. Perbedaannya barang hasil daur ulang, misalnya kompos ( berasal dari sampah organik), dapat dijual setidaknya Rp 1000/kg. Demikian juga bijih plastik (berasal sampah an-organik) setidaknya bernilai Rp 25.000/kg. Sementara lain sampah yang dibawa ke TPA menghasilkan air lindi, timbunan berbau dan beresiko mencemari udara dan air tanah. Itu bedanya, namun sama-sama setiap kg sampah akan membutuhkan biaya - yang oleh karenanya setiap penghasil sampah mesti membayar retribusi kebersihan dan pengelolaan.

Namun demikian, pilihan kita dengan mendaur ulang di dekat lokasi sampah dihasilkan bukan karena kompos asal sampah organik bisa dijual- yang bahkan dalam keadaan petani sudah urea minded tidaklah gampang memasarkan kompos tersebut. Motivasi terbesar mendaur ulang di dekat lokasi penghasil sampah haruslah karena sampah memang memerlukan pengelolaan secara logis. Membawa sampah ke TPA, berkonsekwensi pada ongkos angkut yang makin mahal padahal tidak ada perolehan ekonomi dari pemindahan lokasi tersebut. Dengan mendaur ulang di lokasi penghasil (skala rumah, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan) juga tetap sama-sama memerlukan biaya. Sebagai misal, menurut analisa biaya pembuatan kompos bagi 3 m3 ~ 1 ton sampah organik dengan menggunakan komposter Bio Phoskko, diperlukan biaya :


Kebutuhan Bahan berupa mikroba activator 1 kg= 110.000,- dan Penggembur (buking agent) 3 % x 1 ton= 30 kg x Rp 5000/kg = Rp 50.000,- atau total biaya 250.000,-/ton sampah organik.

Dengan Rendemen 45 %, akan dihasilkan kompos 450 kg kompos x Rp1.000/ kg= 450.000,- ditambah 20 botol pupuk cair = 20 x Rp 40.000,- = Rp 800.000,- dan kemasan  Rp 300 rb, atau laba senilai Rp 600.000,- ( www.kencanaonline.com)


Berita 2 :” Biaya Pengelolaan Sampah Rp 21.600/ton Tidak Memadai, Seharusnya Rp 105.000/ton “

Bandung, Kompas - Biaya pengelolaan sampah di Jawa Barat jauh dari memadai. Faktor-faktor pengelolaan sampah yang biayanya tidak mencukupi, antara lain, adalah pengangkutan sampah, retribusi, dan operasionalisasi tempat pembuangan akhir. Hal itu dikatakan Ketua Harian Provincial Project Support Unit Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Setiawan Wangsaatmadja, Jumat (11/3) di Bandung.

Biaya untuk mengangkut sampah, misalnya, saat ini dianggarkan Rp 17.600 per ton, sedangkan yang ideal sebesar Rp 70.000 per ton. Hal ini diperparah dengan moda transportasi berupa truk sampah yang tidak layak, misalnya bentuk bak terbuka sehingga banyak sampah tercecer. Seharusnya, lanjut Setiawan, bak truk sampah berbentuk kapsul tertutup. Selain itu, biaya pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sebesar Rp 4.000 per ton juga jauh dari angka yang mencukupi, yaitu Rp 35.000 per ton.
(Kompas, 12 Maret 2005)

Pembaca yang budiman,

Dari kedua pilihan pengelolaan sampah kota diatas, dengan sama-sama mengabaikan biaya investasi – yang tentunya investasi TPA memerlukan investasi lebih besar dibanding pengolahan kompos menggunakan Rotary Kiln, mesin pencacah, mesin pengayak dan mesin plastik- memperlihatkan bahwa pengelolaan sampah kota menjadi kompos menghabiskan biaya Rp 250.000,-/ton dengan keuntungan Rp 600.000,- sementara pilihan biaya pengelolaan ke TPA Rp 105.000,-/ton dengan total penerimaan Rp0,- ditambah bencana.

Dari kalkulasi sederhana diatas sejatinya menjadi panduan dalam berfikir untuk memilih keputusan manakah yang lebih bijaksana, logis dan beradab dalam pengelolaan sampah. Apakah pengelolaan oleh suatu perusahaan "corporate" secara tersentralisasi suatu kota? atau, pengelolaan sampah secara 
desentralisasi melalui pendaur-ulangan oleh UKM, LSM, Usaha Mikro, komunitas usaha kecil lainnya pada tingkat lokal penghasil sumber sampah ? *)

Info sekaitan Konsep dan Teknologi Pengelolaan Sampah: Silakan Kontak 085215497331 atau email ke Klik di SINI.

Komponen Dasar Struktur Regional Management

Inisiator, adalah perorangan, kelompok, atau lembaga yang mempunyai prakarsa untuk membangun wacana menuju terbentuknya kerjasama regional, keberadaannya tidak harus masuk dalam struktur organisasi, sebab inisiator dapat berperan sebelum terbentuknya kelembagaan; Namun biasanya para inisiator termasuk para aktor regional yang masuk dalam kelompok Forum Regional.
Forum Regional, adalah forum yang beranggotakan Kepala Pemerintah Kabupaten/Kota anggota kerjasama regional yang memiliki kewenangan: (i) Mendukung terlaksananya kerjasama regional melalui penetapan kebijakan dan penyediaan dana operasional kerjasama regional; dan (ii) Mengusulkan Manajer Regional dengan berkonsultasi dengan DPRD.
Forum Komunikasi Regional, merupakan unsur stakeholders dari wilayah kerjasama regional yang dapat terdiri dari DPRD, Eksekutif, Profesional, Tokoh Masyarakat, LSM, Asosiasi, dan Komponen masyarakat lainnya. Keberadaan forum komunikasi regional diperlukan untuk mengontrol pelaksanaan kerjasama regional, selain itu juga dapat memberikan masukan pada rencana kerja regional yang akan dilaksanakan atau dalam pemecahan masalah yang perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak.
Dewan Eksekutif, keanggotaannya terdiri dari wakil Pemerintah Provinsi (dalam hal ini dapat diwakili oleh Bakorwil, Bapeda Provinsi, atau Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota). Kepengurusan Dewan Eksekutif berasal dari anggota Forum Regional yang dapat ditetapkan secara bergilir diantara anggota. Tugas dan tanggungjawabnya meliputi: (i) penyusunan program kegiatan, penetapan anggaran, mengikat kontrak dengan Regional Manager, dan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Regional Management/Marketing oleh Regional Manager. (ii)Dewan Eksekutif bertanggungjawab kepada forum regional; (iii) Anggaran operasional Dewan Eksekutif ditanggung bersama oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kab/Kota anggota kerjasama regional, dan sumber pendanaan lainnya; (iv) Menunjuk Regional Manajer atas mandat masing-masing Pemkab/Kota berdasarkan konsultasi dengan legislatif dan melalui proses penjaringan publik.
Regional Manager, adalah tenaga profesional yang dipilih melalui proses penjaringan publik berdasarkan usulan dari masing-masing anggota dengan tugas: (i) Menyusun program kerja Regional management; (ii) Melaksanakan Program Kerja; (iii) Mengkatifkan kerjasama antardaerah; (iv) Melakukan promosi dan pemasaran wilayah; dan (v) memperoleh kesepakatan investasi.
- Apakah manager mamanage sistem?
- RM harus ada Planning Job selanjutnya mendiskusikannya , dari hasil diskusi dengan DE maka didapatkan jalan keluar
- DE mengeluarkan Planning Program juga,
- RM boleh mengusulkan penambahan staf ke DE
Advokator, adalah lembaga yang mendukung proses pembentukan dan pelaksanaan Regional Management dan program pelaksanaan serta memberikan advokasi untuk menjaga konsistensi pelaksanaan konsep.
Fasilitator, adalah lembaga Pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi, dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Lintas Kabupaten/Kota Wilayah III Provinsi Jawa Tengah. Tugas Bakorwil III adalah memfasilitasi seluruh kegiatan penyiapan pembentukan Regional Management/ Marketing hingga terbentuknya kerjasama regional tersebut

Catatan :

Kab/Kota di Indonesia yg sudah menerapkan Regional Management dan Regional Marketing bisa di lihat di Klik di sini atau Inisiasi RM ke kontak person : 085215497331 (H.Asrul Hoesein)

REFLEKSI : Indonesia, Kemiskinan dan Potret Buram Kesehatan

Ditulis untuk menyambut Hari Pemberantasan Kemiskinan.
The image “poverty kemiskinan
It’s the lack of ability to employ assets the causes poverty. If your only asset is labour and you are unemployed, you are poor. If you are in the rural area and you don’t own land, then you are also poor.Dipublikasikan oleh Asta Qauliyah
KEMISKINAN bukan ungkapan asing bagi kita, masyarakat negara ketiga. Masing-masing pikiran kita punya persepsi tentang yang mana “miskin” dan mana “tidak miskin” atau “kaya”. Setiap saat kita dijejali dengan sekian produk “pemiskinan” yang membuat kita secara tidak sadar, mengkondusifkan proses “memiskinkan” diri sendiri.
Dalam skala yang lebih besar, tak ayal, bangsa kita juga bangsa yang miskin. Dengan memakai perpsektif apapun, semiskin-miskinnya bangsa lain, kita akan tetap berstatus miskin. Kita tidak layak disebut “kaya” karena kita masih miskin. Biarpun berlimpah sumber daya alam (SDA), toh kita tetap tidak mampu berbuat banyak. Kita juga miskin gerak, miskin uang, miskin moral dan miskin akhlak, dan lain sebagainya yang miskin.
Jika tak berlebih, Indonesia boleh dijuluki sebagai negeri duka kaum papa. Berdasarkan survey Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin pada tahun 2001 di negara ini sebesar 17,5 % atau berkisar 34,6 juta jiwa, sedangkan berdasarkan angka Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2001, presentase keluarga miskin (Prasejahtera dan Sejahtera I) mencapai 52,07 %, lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia pada tahun yang sama. Dalam hitungan lain, hasil SUSENAS mengantongi angka 98 juta jiwa (48%) penduduk miskin Indonesia. Dengan memakai angka apapun, akan tetap banyak masyarakat kita yang berada pada level “miskin”.
Meskipun tidak secara langsung berhubungan, tingkat pengangguran, logikanya biimplikasi dengan kemiskinan. Jumlah penganggur di negara ini tahun 2000 lalu diperkirakan mencapai 38,5 Juta jiwa, hampir sama besarnya dengan jumlah masyarakat miskin.
Dalam kondisi objektif seperti ini, pemerintah memikul konsekuensi logis merumuskan upaya pengentasan kemiskinan. Sejak kemerdekaan diproklamirkan, label “negara miskin” masih juga belum bisa dilepaskan dari etalase pembangunan nasional. Yang paling menyedihkan, adalah tingkat Human Development Index (HDI) nasional Indonesia pada tahun 2003 yang jauh tertinggal dari banyak negara berkembang; negara-negara yang dulu banyak belajar dan dibantu oleh kita. Kita harus puas dengan rangking 117 dari 175 negara, juru kunci di ASEAN!
HDI, dikenal juga sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mewakili keberhasilan pembangunan suatu negara diukur dari perspektif ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Untuk perspektif ekonomi, HDI yang sangat rendah tersebut, melambangkan keterpurukan moneter dan tidak adanya kondusifitas pengembangan ekonomi. Krisis multidimensi yang menerpa negara kita pada penghujung 1997 dan pertengahan 1998, menyisakan trauma ekonomis yang cukup mendalam. Iklim investasi memburuk, sejalan dengan terjungkalnya sektor ekonomi menengah ke bawah dan distabilitas perpolitikan nasional.
Tak terkecuali pendidikan dan sektor kesehatan. Sebagai “public goods” (kebutuhan publik), kedua sektor ini – bagaimanapun konteksnya, akan tetap dibutuhkan hadirnya, dalam kondisi krisis kemarin, tak dapat dinafikkan, juga mengalami imbas yang cukup berarti. Selain itu, sektor-sektor lainnya semisal hukum, pertanian, kultur dan sebagainya, pun tak luput dihembus angin distabilitas. Bangsa kita sakit, kronik malah.
Problem nasional kita menjadi semakin kompleks dan memutlakkan penyelesaian sistemik dan kompleks pula. Buntutnya, masyarakat miskin, yang sebelumnya memang sudah miskin, kembali terdesak menjadi miskin berganda, miskin sirkuler, bahkan tidak sedikit yang miskin herediter. Penghujung dekade 90-an, resonansi kemiskinan muncul dengan kemasan dan wajah baru yang lebih menyeramkan.
Bangsa ini, bangsa yang memuja kemiskinan !
Penyebab Kemiskinan
Jawaban sederhana, namun juga cukup lugas dari pertanyaan di atas, yang kerap kita dengar adalah : “Karena mereka malas !”. Mengasosiasikan kemiskinan dengan kemalasan, pada gilirannya akan menemui absurditas, dan bukan tak mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karena, di luar dari alasan-alasan eksternal lain, kiranya tak ada seorang pun yang secara manusiawi “mau” hidup miskin.
Beberapa keyakinan religi yang cenderung doktriner, menganggap kemiskinan sebagai bentuk cobaan. Dalam kriteria moralitas – ini juga berlaku terbatas, kemiskinan bahkan dipandang sebagai pembalasan atas dosa-dosa yang telah diperbuat seseorang atau sekelompok orang pada waktu-waktu sebelumnya, termasuk kemalasan.
Sejarah kemiskinan, hadir sejak mula adanya manusia. Schiller (1973) mencatat bahwa terjadinya krisis ekonomi dahsyat di AS pada akhir dekade 1890-an, menjadi momentum saat mana keyakinan doktriner – bahwa kemiskinan adalah refleksi dosa manusia, mulai dipertanyakan.
Banyak hal yang menunjukkan bahwa, kelompok-kelompok miskin sulit memanfaatkan peluang. Di samping itu, kualitas sumber dayanya memang rendah. Secara ekonomis, yang tampaknya menjadi konsensus adalah bahwa seseorang atau sekelompok miskin karena lack of resourches.
Bukan semata karena kemalasan, meskipun juga tak bisa dinafikkan peran konteks seperti ini dalam memudarkan spirit untuk hidup, berujung pada sikap apatis dan putus asa. Pada kenyataannya, apatis dan putus asa yang “terkondisikan” inilah, yang dipotret sebagai “kemalasan”.
Singkatnya, terdapat “kondisi global” yang melingkupi orang-orang yang miskin atau yang rentan menjadi miskin, yang memaksa mereka untuk – mau atau tidak mau, sadar atau tidak, menjadi miskin.
Kondisi global yang secara sistemik telah memperkecil ruang-ruang ekspektasi dan kreatifitas hidup mereka, memposisikannya tetap di level suboordinat, pada wilayah-wilayah marginal, saat mana mereka tidak memiliki kekuatan sosial politis dan bargaining hukum yang berarti. Kendati pun ada faktor kemalasan, saya yakin, itu bukan sebab utama kemiskinan saat ini.
Kemiskinan dan Potret Buram Kesehatan
Kemiskinan dan kemalasan boleh jadi tidak berkorelasi langsung. Tetapi kemiskinan dengan kesehatan, praktis saling mempengaruhi. Dalam konteks ini, harus juga dipahami bahwa, kemiskinan pada dasarnya tidak hanya mempengaruhi status kesehatan, tetapi juga menghegemoni sejumlah aspek kehidupan lainnya, seperti pendidikan, pekerjaan, kedudukan politis dan lain sebagainya.
Kemiskinan, dalam beberapa hal bahkan dapat dianggap sebagai mula siklus (the first siclic) keterpurukan manusiawi. Literatur keagamaan pun meriwayatkan, bahwa kemiskinan akan lebih mendekatkan seseorang dengan kekufuran. Termin kufur dapat dipahami sebagai penafikan atas realitas, termasuk untuk menganggap secara terpaksa, antara lain bahwa kesehatan tidak jauh lebih penting dibanding dengan bagaimana mencari uang dan menikmati sesuap nasi setiap harinya.
Menarik membahas keterkaitan kemiskinan dengan kesehatan. Selain sebagai investasi abstrak masa depan, kesehatan juga memegang peranan besar dalam mengangkat status individual seseorang dari kemiskinan. Kesehatan didefenisikan sebagai kondisi yang memungkinkan optimalisasi potensi insani manusia, baik secara fisik, psikis maupun sosial.
Optimalisasi potensi bagi seseorang, salah satunya adalah dengan bekerja mencari nafkah – mengantarkan diri menjadi orang yang “tidak miskin” lagi.
Pada sisi lain, secara resiproksial, kemiskinan berpotensi besar menyebabkan seseorang menjadi tidak sehat dan jatuh sakit. Realitas di masyarakat sangat jelas menunjukkan bahwa, karena tidak mampu membayar biaya pelayanan medik, sebagian besar masyarakat yang sakit “terpaksa” lari ke dukun atau pengobatan tradisional yang relatif lebih murah dan terjangkau dengan tingkat sosial ekonominya.
Itu baru satu hal, yakni upaya kuratif atau pengobatan.
Jika diminta meletakkan prioritas antara promotif, preventif, kuratif, atau bertahan hidup, maka sebagian besar masyarakat kita akan memilih : “Saya bertahan saja, sambil menunggu ajal”. Betapa tidak, untuk berobat saja, mereka sudah minim uang, apalagi untuk mengontrol kesehatannya. Masyarakat kita benar-benar miskin dan tengah jatuh sakit!
Ini bukan trend. Yang terjadi adalah meningkatnya prevalensi penyakit infeksi yang melanda masyarakat kalangan menengah ke bawah, seperti demam berdarah (DHF), malaria, ISPA, dan diare. Penyebaran penyakit lingkungan ini, lebih dominan pada kawasan kumuh dan padat penduduk, khas masyarakat miskin kota dan kaum-kaum ekonomi marginal. Banyak bayi yang lahir mati. Pun tidak sedikit ibu melahirkan menemui ajal karena asuhan persalinan yang tidak memadai atau bahkan tidak ada sama sekali.
Keprihatinan ini tentunya belum membincangkan tingginya kasus Tuberculosis (TB) pada penduduk miskin di daerah kumuh yang tidak ramah lingkungan, hipertensi (tekanan darah tinggi) dengan sejumlah manifestasinya bagi kaum miskin pantai pesisir, kekurangan gizi kronik (marasmus dan kwashiorkor) baik pada anak maupun remaja, serta masalah kesehatan fundamental lainnya. Yang ironis, malah pada beberapa daerah yang dikenal sebagai lumbung pangan, masyarakatnya justru banyak mengalami kelaparan gizi.
Di samping itu, kekerasan rumah tangga menjadi kerap terjadi di kalangan sosial ini sebagai konsekuensi kerasnya hidup yang mesti mereka jalani. Meskipun sebagian besar dari mereka menyadari keterpurukan ini, tetapi semua menjadi lazim, lumrah dan biasa-biasa saja.
Ketakmampuan ekonomi dan atas desakan sosial untuk bisa sekadar bertahan dengan prestise seadanya, sering kali pelarian kaum miskin seperti ini adalah pada narkotika dan seks bebas – komersialisasi seksual.
Akibatnya, prevalensi penyakit infeksi kelamin semisal HIV/AIDS dan Hepatitis C menunjukkan grafik meningkat pada kalangan suboordinat ini dari tahun ke tahun. Secara tidak langsung, sebenarnya ini juga bisa menggambarkan betapa semakin tingginya progresifitas kemiskinan di negara kaya sumber daya alam (SDA) ini.
Mungkin karena menyadari itulah, pemerintah sejak awal telah menitikberatkan pembangunan pada upaya pengentasan kemiskinan, termasuk dengan memprogramkan pelayanan kesehatan “special” bagi masyarakat miskin. Hanya saja, gaung upaya pengentasan kemiskinan ini, tidak semerdu alunan prestasi yang diraih. Kita masih terpuruk!
Selama kurun 17 tahun (1976-1993), secara kuantitatif, pemerintah pernah berhasil menurunkan jumlah kaum miskin sekitar 28 juta jiwa, tetapi kondisi riil di lapangan sebenarnya tidak jauh berubah. Bahkan kecenderungan terakhir menunjukkan, bahwa jumlah masyarakat miskin justru semakin bertambah seiring dengan krisis multidimensi dan maraknya dispolicy (kesalahan kebijakan) yang dilakukan pemerintah. Padahal, sekian anggaran dari kas negara (baca : uang hasil pajak masyarakat yang sebagian besarnya miskin) telah dialokasikan untuk hal tersebut. Ada yang salah?
Mengapa Kemiskinan Tetap Menjadi Problem Berkelanjutan?
Agenda kemiskinan, sebagaimana di atas menjadi rutinitas pemerintahan yang berkuasa. Tetapi pencapaian hasil program pengentasan setiap periode selalu saja tidak signifikan atau dihancurkan sama sekali oleh distabilitas ekonomi-sosial-politik nasional. Terjadi tambal sulam kebijakan, bak mencoba menangkar angin di angkasa.
Kemiskinan tidak kunjung usai, seperti juga penantian masyarakat yang tak urung henti, menanti fajar baru kehidupan : Masyarakat Adil Makmur.
Dalam artikelnya di harian Kompas, Hamonangan Ritonga, Kasubdit pada Direktorat Analisis BPS, mengungkapkan dua faktor penting sebagai penyebab kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Selain karena selama ini upaya pengentasan kemiskinan hanya terfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial kepada yang miskin saja, juga karena minimnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri. Akibatnya, banyak program pembangunan yang tidak didasarkan atas isu-isu kemiskinan yang ada.
Ritonga mungkin benar, tetapi saya kira belum melihat secara komprehensif kondisi yang terjadi. Saya melihat ada indikasi ketidakbersungguhan pemerintah — terlepas dari sengaja atau tidak, mungkin pada tingkatan puncak, menengah, atau petugas di lapangan, untuk benar-benar menganggap kemiskinan sebagai problem bersama, sebagai masalah nurani kemanusiaan kita. Artifisialnya program pengentasan kemiskinan, sebenarnya jika dilakukan secara sistematik dan terarah, bukan mustahil bisa memberikan warna baru yang lebih produktif.
Dalam kroniknya kemiskinan, saat mana masyarakat kita tidak cukup kuat untuk “mengail” ikan, tidaklah arif dan bijaksana juga untuk hanya memberikan “kail” dan “umpan” saja, tetapi sedapat mungkin bisa diberikan keduanya : “kail-umpan” sekaligus “ikannya”. Mempersiapkan masa transisi dari keterpurukan infrastruktur sosial-ekonomi, mensyaratkan adanya tahapan persiapan-persiapan awal.
Minimal, akses mereka atas layanan sosial dan public goods tidak lagi terhambat oleh minimnya aksesibilitas yang dimiliki. Persiapan masa transisi, saya gambarkan sebagai “pemberian kail-umpan dan ikan” sekaligus, sehingga ketika masa transisi ini telah terlewati, gambarannya menjadi “masyarakat peternak ikan”, dimana mereka tidak hanya bisa mengail ikan, tetapi sekaligus juga memiliki dan mampu memberikan “ikan” untuk orang lain yang sedang transit hidupnya.
Dalam batasan lain, program pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, layaknya dilakukan untuk menumbuhkembangkan iklim kehidupan yang produktif dan mampu membebaskan ketergantungan permanen kaum miskin kepada pemerintah dan pihak penderma lainnya.
Untuk itu, pengalihan bantuan untuk masyarakat miskin dari bentuk-bentuk materiil, perlahan mesti dilakukan – sebagai masa transisi, dalam bentuk program-program produktif untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan perbaikan struktur-struktur sosial-kultural internal mereka. Karena secara tidak langsung, sebenarnya saat ini kemiskinan yang melanda bangsa kita semakin jauh terjebak ke dalam bentuk-bentuk kemiskinan struktural.
Satu yang pasti, kemiskinan struktural di Indonesia saat ini telah menembus hingga ke lapisan masyarakat paling bawah sekalipun. Kemiskinan struktural timbul bukan karena sifatnya individual, tetapi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat; dan bukan pula karena sebab tunggal, tetapi oleh berbagai sebab yang berbelit dan melilit kondisi kelompok penduduk (Soemardjan, 1979).
Terlepas dari perdebatan tentang parameter kemiskinan, saya masih menganggap bahwa pola organisasi sosial dan sistem pengaturan institusi ada hubungannya dengan kesulitan mencapai golongan termiskin dalam masyarakat. Myrald (1976), menyatakan bahwa seseorang lahir dalam berbagai kondisi struktur sosial. Dengan kekuatannya sendiri orang ini tidak mampu menguasai dan mengubah struktur itu.
Jika gejala ini berlanjut, maka akan berakhir pada lingkaran yang tak berujung-pangkal atau kausasi sirkuler yang kumulatif. Berdasarkan hal inilah, mengapa pendekatan ekonomi saja tidak cukup untuk mengentaskan problem kemiskinan di negara kita.
Yang justru kontradiktif adalah, munculnya program-program penanggulangan parsialistik di tiap departemen pemerintahan di tengah kurangnya tenaga profesional yang kita miliki. Akibatnya, banyak program yang salah sasaran dan tidak jelas ujung-pangkalnya. Kondisi ini ikut diperparah dengan sentralistiknya manajemen stakeholder untuk program ini, menyisakan ketidakefektifan dan efisiensi minimal dalam setiap kegiatan yang dilangsungkan.
Dengan konsep otonomi daerah ke depan, kiranya program pengentasan kemiskinan harus tetap dianalisis dan direncanakan berdasarkan kompetensi ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi sekaligus dapat dilangsungkan dengan membangun karifan-kearifan lokal, baik yang menyangkut pranata-pranata budaya setempat dan kultur sosial yang ada.
Beberapa Pemikiran
Kemiskinan bukan faktor tunggal yang berdiri sendiri, ia adalah manifestasi keterpurukan banyak faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Karena itu, keterlibatan banyak elemen dengan disiplin dan kompetensi memadai, jelas akan sangat membantu mencapai target pengentasan.
Beberapa poin penting yang mesti diperhatikan adalah:
Keterlibatan institusi agama serta pranata-pranata budaya lokal dalam sistem kemasyarakatan untuk pengentasan kemiskinan, sedikit banyak, dapat memberi kontribusi bagi keseluruhan program. Beberapa agama tertentu, seperti Islam, justru memiliki sistem distribusi modal sosial secara merata sebagai upaya mencegah kemiskinan ummatnya, yakni melalui mekanisme zakat.
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sebenarnya menjadi lahan tantangan baru untuk mengaplikasikan konsepsi pemberdayaan zakat menjadi solusi pengentasan kemiskinan saat ini. Hanya saja, tak dapat dipungkiri, hal ini membutuhkan banyak kajian dan analisis kelayakan dengan melibatkan alim ulama dan pimpinan ummat yang ada. Yang penting, bentuk-bentuk pengelolaan zakat tidak lagi diarahkan pada upaya-upaya konsumtif belaka, tetapi harus diformulasikan dengan upaya yang lebih produktif bagi ummat.
Sebagai basic needs yang abstrak, peningkatan status kesehatan masyarakat miskin sebaiknya dijadikan prioritas utama, khususnya dalam upaya mencegah mereka semakin terpuruk dalam jurang kemiskinan, jika mereka jatuh sakit dan tidak mampu berobat. Pelayanan medik dasar di Puskesmas, idealnya harus dibebasbiayakan.
Masyarakat mesti diberikan akses dan proporsi yang adil untuk mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan mereka. Sehingga, kasus-kasus medik dasar tidak lagi menumpuk di rumah sakit rujukan. Setidaknya, untuk mewujudkan hal ini, pemerintah dituntut memaksimalkan alokasi dan perbaikan manajemen pelayanan kesehatan mulai dari tingkatan terbawah sekalipun. Jika orang sehat, segalanya bisa menjadi mungkin. Tetapi tanpa kesehatan, segala sesuatunya tidak ada artinya (Health is not everything, but without health, everything is nothing).
Sektor pendidikan juga merupakan salah satu alternatif untuk meminimalkan dampak kemiskinan sirkuler, kemiskinan budaya, maupun budaya kemiskinan. Mental generasi bangsa banyak ditempa di bangku sekolah mereka – bagi yang mampu bersekolah.
Bagi yang tidak mampui bersekolah resmi, program pengentasan buta aksara dan sekolah-sekolah non formal lainnya, bisa menjadi alternatif. Yang jelas, pendidikan dini tentang bagaimana mengelola hidup dan merencanakan masa depan – meskipun dalam kondisi serba terbatas, mutlak diajarkan dengan proporsi yang tidak kalah dengan bahan pelajaran lainnya.
Mengajari generasi kaum mengengah ke bawah dengan keterampilan individual dan skill terapan akan banyak membantu mereka melepaskan diri dari belenggu kemiskinan pada masa mendatang. Untuk hal ini, pemerintah – sebagai entitas yang memiliki tanggung jawab terbesar, dituntut untuk mengalokasikan secara signifikan anggaran program pendidikan khusus bagi anak-anak terlantar dari kaum miskin di Indonesia, tanpa terkecuali.
Pada setiap tingkatan pemerintahan lokal, perlu dibentuk sebuah komisi khusus untuk penanggulangan kemiskinan, tetapi tidak secara sepihak dibentuk oleh pemerintah berkuasa. Komisi ini beranggotakan orang-orang dan pihak yang dianggap layak dan ditetapkan oleh lembaga legislatif. Tugasnya adalah untuk menganalisis, merencanakan, mengatur dan melaksanakan program-program khusus untuk pengentasan kemiskinan di daerahnya, berkoordinasi dengan elemen terkait, termasuk pranata budaya dan lembaga sosial keagamaan yang ada di daerahnya.
Kita memiliki alasan yang sama untuk tidak melihat kemiskinan menganga di depan mata, setidaknya untuk memastikan bahwa kita juga masih punya nurani, yang secaa fitrawi menginginkan kebahagiaan bersama, keceriaan berbagi dan keselamatan universal, tanpa sedih, duka dan air mata kelaparan.
It’s the lack of ability to employ assets the causes poverty. If your only asset is health and you are illness, you are poor. If your only asset is brain and you aren’t school, then you are also poor…
ShareThis

ARTIKEL LAIN YANG BERKAITAN:

  • Masyarakat Miskin dan Retorika Pemerintah
    Saya akhirnya menuliskan kegusaran setelah mendengar, membaca dan mencoba ikut merasakan bagaimana kenyataan tragis terjadi di tengah-tengah kita. Mungkin bukan lagi hal yang luar biasa (terutama bagi...
  • Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia
    Kesehatan adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti biasa. Dalam kehidupan berbangsa, pemb...
  • Menggagas Agenda Reformasi Kesehatan
    Hiruk-pikuk genderang reformasi yang ditabuh pada tahun 1998 seakan belum juga mau surut. Bahkan dalam kondisi saat ini, agenda reformasi dirasakan masih perlu diekstensifkan lagi, merambah pada semua...
  • Aksi Bersama Turunkan Menteri Kesehatan di DPRD Sulawesi Selatan
    Hari Rabu, 12 September lalu saya dan kawan-kawan dari Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) HMI Cabang Makassar Timur dan Lembaga Kajian Pembangunan Kesehatan (LKPK) menggelar aksi keprihatinan at...
  • Fenomena VIII, Siapa Bilang Sehat itu Gampang?
    Kontroversi Masalah Rokok Dewasa ini, tercatat bahwa dari sekitar 1,2 miliar perokok aktif di dunia, 800 juta di antaranya berada di negara sedang berkembang yang total penduduknya saat ini berkisa...

PERAN STRATEGIS OKP DALAM ERA DESENTRALISASI

WACANA tentang Organisasi Kemahasiswaan dan Pemuda (OKP) sesungguhnya bukan lagi hal yang baru. Di negara kita, OKP tumbuh subur sebagai salah satu kekuatan sosial-politik rakyat yang cukup diperhitungkan. Di era demokrasi saat ini, peran OKP menjadi lebih signifikan dalam mengakumulasikan kekuatan pemuda dan mahasiswa, khususnya dalam upaya pemetaan geo-politik nasional sebagai bagian penting strategi pemenangan politik bagi kelompok kepentingan. Beragam OKP yang terbentuk, baik yang dilandasi kesadaran demokrasi maupun yang tidak, menambah jejeran kekuatan massa rakyat yang dikenal berasal dari basis intelektual dan moral, terutama kampus dan kedaerahan.
Hanya saja, fenomena OKP saat ini, telah mengantarkan kegelisahan eksistensial kita untuk kembali perlu mengidentifikasi keberpihakan lapisan pemuda dan mahasiswa dalam proses pembangunan bangsa. Apa pasal?
Untuk dua fokus OKP, sebagai lembaga kampus dan perhimpunan angkatan muda kedaerahan, yang justru paling mencolok untuk diperhatikan sepak terjangnya adalah perhimpunan kedaerahan. Hampir setiap Kabupaten di Indonesia pasti memiliki perhimpunan pemuda, pelajar dan mahasiswanya sendiri-sendiri. Tentunya keberadaan organisasi kedaerahan (selanjutnya kita sebut saja : Organda) seperti ini memiliki agenda kelembagaan yang terutama ditujukan bagi pengembangan daerahnya.
Pada konteks ini, peran strategis Organda sesungguhnya menarik disimak, apalagi dengan diterapkannya Otonomi Daerah sebagai bagian dari kebijakan desentralisasi pada beberapa tahun terakhir.
Otonomi Daerah
Undang-Undang No 22/1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan melalui UU`No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, menegaskan peran dominan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan aktivitas pemerintahan dan pembangunannya. Peran Pemerintah Provinsi tidak lebih mewakili Pemerintah Pusat untuk bertindak sebagai koordinator pembangunan lintas sektoral dan fungsi administratif pemerintahan lainnya.
Tak bisa dipungkiri, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menjadi aktor utama pembangunan yang sesungguhnya dapat saja menentukan “arah” dan “model pelaksanaan” pembangunan di daerahnya. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada Langsung) dewasa ini kian menegaskan “teritori politik” dari Pemerintah Daerah yang berkuasa, sebagai mendapatkan legitimasi penuh dari rakyatnya. Imbasnya, Pemda seakan berada “di atas angin” untuk semua urusan pembangunan dan pemerintahannya.
Banyak kasus yang kita jumpai di daerah telah menggambarkan begitu otoriternya Pemerintah Daerah dalam menjalankan kebijakannya kepada rakyat sendiri. Minimnya sumber daya manusia yang secara strategis dapat mendesain model pembangunan partisipatif dan investatif di daerah-daerah, telah menjerumuskan banyak Pemerintah Daerah pada model pembangunan “eksploratif” semata, dengan karakteristik yang khas : peningkatan pajak dan retribusi daerah.
Jika melirik hasil evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri baru-baru ini, maka dari 190-an Kabupaten/Kota yang telah dimekarkan, beberapa di antaranya menunjukkan ketidakmampuan dalam mengelola daerahnya paska pemerkaran. Akibatnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang diidam-idamkan sebagai konsekuensi pemekaran, tak kunjung hadir.
Bahkan, pada beberapa daerah, paska pemekaran telah menyisakan konflik horizontal antar warga yang hingga sekarang, tak kunjung usai. Beberapa daerah, yang karena hampir kollaps, kini diusulkan untuk dikembalikan pada daerah induknya sebagai upaya mencegah kepunahan demokrasi dan pembangunan di daerah tersebut. Kenyataan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua di daerah-daerah paska pemerkaran, maupun di daerah-daerah yang tengah berniat memekarkan diri. Hati-hati.
Middle Class
Buruknya implikasi yang diakibatkan transisi demokrasi seperti ini, pada saat Otonomi Daerah menjadi primadona dalam kampanye politik kelompok kepentingan, semakin diperparah oleh tidak hadirnya kelompok menengah rakyat (middle class) dalam mengawal agenda pembangunan di daerah. Middle Class di sini sesungguhnya merupakan barisan intelektual dan moral yang secara terus-menerus melakukan advokasi dan monitoring terhadap segala “gerak-gerik” Pemerintah Daerah dalam program pembangunannya.
Tidak mustahil, seperti yang telah banyak kita saksikan di daerah-daerah maju, “kelompok tengah” ini dapat berfungsi ganda sebagai parlemen oposisi, tidak lain untuk menambal kinerja sebagian besar anggota DPRD Kabupaten/Kota yang “prestasi legislatif”-nya tidak begitu bagus.
Pada banyak daerah yang baru mekar, kultur aristokrasian menjadi momok yang sangat mengganggu bagi proses transisi demokrasi. Saat rakyat sudah merindukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Clean and Good Governance), kultur aristokrasi kembali menyuburkan praktek-praktek “miring” yang kental dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Lemahnya fungsi legislasi oleh DPRD Kabupaten/Kota, dan relatif dipengaruhinya institusi yudikatif daerah oleh eksekutif, serta minimnya pengawasan independen oleh kelas menengah (middle class), telah menjadi alasan, mengapa praktek “pemerintahan purba” seperti di atas tumbuh subur seiring dengan tingginya budaya “nrimo” dan “permissif” masyarakat periferi kita.
Ini ironi yang menyakitkan, karena jika terus dilakukan pembiaran, maka keadaan seperti ini nantinya justru akan dianggap sebuah kelaziman di daerah.
Tidak bisa tidak, masyarakat dan seluruh lapisan pemerintah daerah mesti senantiasa diingatkan fungsi, wewenang dan tanggung jawabnya masing-masing. Siapa yang bertugas melakukan ini? Tidak lain adalah kelompok menengah (middle class), sebagai bagian inti dari masyarakat sipil (civil society) yang senantiasa mereproduksi wacana pembaharuan dan menegaskan pemihakannya atas demokratisasi pembangunan dan pemenuhan hak-hak sipil rakyat.
Harus ada semacam Civil Society Organization (CSO) yang menjadi kekuatan middle class dan memegang peran strategis dalam mengawal agenda desentralisasi dan otonomi daerah saat ini. Peran-peran yang secara intelektual dan moriil sesungguhnya bisa menjadi kekuatan penyeimbang (balancing of power) atas minimnya sumber daya manusia daerah serta kurang strategisnya konsep pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah daerah. Nah, pertanyaannya, siapakah yang mesti berperan sebagai CSO di daerah-daerah?
OKP Daerah (Organda)
Menjamurnya organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan dengan latar belakang kedaerahan belakangan ini, sesungguhnya bisa menjadi angin segar bagi proses demokratisasi pembangunan di daerah, terutama yang paska pemekaran. Perhimpunan-perhimpunan ini, asal dibentuk dan dilandasi oleh semangat partisipatif intelektuil, pada prinsipnya bisa segera mentransformasi diri menjadi, apa yang disebut di atas sebagai, “civil society organization (CSO)” dan berperan sebagai “kelompok tengah (middle class)”.
Dalam upaya mengawal pembangunan dan memerankan diri sebagai “parlemen oposisi” di daerah, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan daerah (Organda) bukan lagi harus terjebak menjadi sekadar “event organizer” kegiatan-kegiatan teknis di lapangan, melainkan lebih sebagai “dapur wacana” demokratisasi pembangunan.
Organda mesti dapat melakukan penyeimbangan atas praktek pembangunan di daerahnya masing-masing, dengan senantiasa melakukan kajian dan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah dan institusi-institusi yang terkait di dalamnya. Bukan hanya itu, Organda juga harus berani melakukan tindakan korektif terhadap ketimpangan di daerahnya, jika diperlukan.
Pada konteks ini, kita mesti memahami pula bahwa, banyaknya kelompok kepentingan di daerah-daerah secara tidak langsung, telah membuka peluang bagi Organda untuk “ditunggangi”, baik secara sadar maupun tidak. Karena itulah, maka Organda mesti mempersiapkan infrastruktur intelektual dan moralitasnya, berikut kekuatan jaringan antar kelompok-kelompok sepaham, sehingga peran strategis yang diembannya dapat diselenggarakan dengan benar dan tidak “terkontaminasi” oleh kepentingan pihak eksternal.
Sebagai kekuatan menengah yang berperan sebagai “parlemen oposisi”, mesti disadari beratnya tantangan yang akan dihadapi oleh Organda. Tidak mustahil Organda akan mendapatkan tekanan politik (political pressure) dari kelompok-kelompok kepentingan di daerah untuk bisa menyelamatkan agenda dan kepentingan mereka.
Sebagai fenomena lazim, minimnya sumber dana dan kekuatan finansial pada sebagian besar Organda saat ini, menjadi portal of entry masuknya kekuatan modal besar yang bisa “membeli” Organda dengan harga berapa saja. Pada titik inilah, pertarungan sejatinya baru berlangsung. Saat idealisme kemahasiswaan kita diperhadapkan dengan realitas kapital yang sesungguhnya sulit dibantah, kita juga sama butuhkan. Mau tidak mau, Organda mesti memiliki semacam “imunitas keorganisasian” yang didesain sedemikian rupa dari setiap lapisannya, sehingga ketika berhadapan dengan kekuatan riil semacam itu, Organda bisa tetap konsekuen dan konsisten dengan visi dan misi “kekuatan menengah”-nya.
Karena itulah, jika Organda benar-benar sudah menyadari realitas pembangunan daerah saat ini dan “berniat” merubah pola gerakan menjadi “ parlemen oposisi”, maka setiap unsur di dalamnya mesti memiliki kesamaan visi dan pandangan tentang pentingnya mereposisi gerakan dan mengambil peran-peran strategis dalam pembangunan daerah.
Menanggalkan relasi Organda dengan kelompok-kelompok kepentingan dapat segera dilakukan sebagai prasyarat perwujudan independensi Organda untuk merumuskan agenda oposisinya ke depan. Pada gilirannya, jika peran-peran sebagai “civil society organization” ini dapat diperankan secara benar oleh Organda, maka tidak mustahil, bargaining sosial dan politik Organda menjadi semakin kuat, dan menjadi sangat mungkin pada suatu ketika,`justru mengalahkan hegemoni Pemerintah Daerah yang masih belum becus kerjanya. Kita nantikan!

Tentang Penulis:

Asta Qauliyah - telah menulis 469 artikel di ASTAQAULIYAH.COM Sejak tahun 2008, Asta Qauliyah aka Asri Tadda bekerja sebagai full-time blogger dan SEO konsultan sekaligus berhenti dari program pendidikan klinik di Fakultas Kedokteran Unhas Makassar yang selama ini digelutinya. Kini, Asta Qauliyah tengah mengembangkan AstaMedia Group, sebuah perusahaan internet marketing dan blog advertising yang berbasis di Makassar dengan sejumlah layanan online dan sayap bisnis di sektor ril. Anda bisa menghubungi Asta Qauliyah melalui jejaring sosial di bawah ini:
 

Korupsi Masalah Pokok Kkn: Suatu Catatan

By : J. Soedradjad Djiwandono
Gurubesar tetap Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia
 

PENDAHULUAN
Dalam tulisan sebelumnya saya melihat masalah KKN sebagai suatu implikasi dari sikap hidup lebih besar pasak dari tiang, yang nampaknya menghinggapi masyarakat Indonesia baik secara nasional, dalam pembangunan nasional maupun yang lebih mikro lagi, dalam kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. Masyarakat Indonesia baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam membangun masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih demokratis, dan lebih mandiri.
Dalam tulisan ini saya ingin memusatkan perhatian pada penaggulangan masalah KKN dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau kriteria dari masing-masing tindakan dalam KKN dan memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas, dan lebih pokok, yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan program penanganan masalah KKN akan lebih terarah dan memberikan hasil yang setahap demi setahap dapat dipergunakan untuk dijadikan basis bagi penaganan seterusnya sampai tuntas. 

MEMBUAT BATASAN ARTI KKN.
Saya mengamati bahwa apa yang dimaksud dengan korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN itu bisa berbeda bagi orang yang satu dengan yang lain. Karena itu pembahasan di suatu diskusi atau polemik dan pemberitaan di media mengenai hal ini sering menjadi simpang siur. Mungkin pengertian untuk masing-masing kata; korupsi, kolusi dan nepotisme memang tidak sama bagi orang yang berbeda, apalagi kalau sudah digabungkan menjadi satu.
Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa di dalam masyarakat kita memang sering digunakan istilah yang dianggap dimengerti semua orang, padahal kalau dibahas sedikit lebih mendalam ternyata terdapat perbedaan pendapat ataupun nuansa yang bisa besar antara satu dengan yang lain. Ini kemudian menimbulkan keadaan dimana masalah yang dibahas menjadi menggantung dan solusinya tidak ditemukan.
Ada pernyataan 'the devil is in the detail'. Tanpa adanya batasan dan rincian yang akurat suatu istilah atau konsep dapat menjadi kabur, demikian pula masalah yang berkaitan dengan istilah tersebut. Dan kalau konsepnya saja tidak jelas atau tidak akurat bagaimana dapat dihasilkan suatu penyelesaian dari masalah yang berkitan dengan istilah tersebut ?
Dalam masalah KKN, memang pada umumnya benar bahwa ketiganya menjadi satu, ketiganya merupakan masalah, karena itu harus diselesaikan. Tetapi apakah penyelesaian dengan menggabungkan ketiga masalah ini menjadi satu itu realistis? Saya takut bahwa menggabungkan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu lebih banyak menimbulkan perbedaan pendapat, tidak membantu penyelesaiannya, bahkan mungkin malahan menghambat.
Saya melihat bahwa dalam kenyataannya penggabungan ketiga tindak kejahatan ini menjadi satu justru membatasi kemajuan proses penanganannya. Sebagai suatu pernyataan politis memang enak kedengarannya, pemberantasan KKN secara tuntas. Semua setuju, semua mendukung. Akan tetapi kalau ingin disusun suatu strategi penanganan masalah ini, langsung ditemukan halangan untuk dapat ditemukan jalan keluarnya secara tuntas. Untuk membuat suatu program yang bisa dilaksanakan perlu ditentukan mana yang sebenarnya menjadi akar masalah, mana yang menjadi akibat, mana yang merupakan dampak sampingan, bagimana ukuran besar kecilnya masalah, ketentuan mana yang dilanggar, dsb.
Kalau ingin menghilangkan secara tuntas masalah KKN, pengertian ini harus jelas; apa yang dimaksud dengan masing-masing, mana yang bergandengan, mana yang akhirmya merugikan, dst. Sering batasan yang terlalu rinci juga bikin bingung. Ingat skandal Gedung Putih bagaimana mendefinisikan hubungan sex menurut ketentuan hukum yang memang menuntut definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan suatu istilah. Akan tetapi saya yakin bahwa untuk masalah KKN definisi yang jelas harus ada, agar tidak membuat masalahnya menjadi rancu dan jalan keluarnya tidak kunjung nampak.
Tanpa kejelasan konsep atau definisi apa yang dimaksud dengan masing-masing unsur dari ketiganya, saya takut pemberantasan KKN akan tetap menjadi slogan, semua setuju, semua mendukung, tetapi tidak dicapai kemajuan. Penanganan masalah KKN sampai sekarang nampak terlalu politis, hanya untuk memberi kesan bahwa Pemerintah menangani masalahnya secara sungguh-sungguh. Itupun tidak selalu meyakinkan, seperti mengirim dua pejabat tinggi negara untuk mengusut sinyalemen majalah Time guna memperoleh jawaban dari pemerintah Austria yang sebenarnya telah diketahui tanpa mengirimkan misi tersebut. Dilain pihak penanganan juga nampak terlalu yuridis menghadapi masalah yang bernuansa politis.
Kasus KKN sangat banyak, akan tetapi tidak diberikan penjelasan terbuka mengenai kasus mana yang ditangani dan mana yang tidak, mana yang didahulukan dan mana yang dikemudiankan, dan mengapa demikian.

ARTI KKN
Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang, orang menggabungkan ketiga tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah, KKN. Dalam penggunaanya ketiga hal ini seolah-oleh telah menjadi satu kata. Saya takut malah sudah menjadi suatu slogan. Akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan mengenai masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara operasional menyulitkan. Kalau seseorang dituduh melakukan tindakan KKN, mana sebenarnya yang dituduhkan, korupsi, kolusi atau nepotisme atau ketiga-tiganya atau dua. Ini tidak jelas. Sebagai suatu tuduhan politis atau sosial saya kira tidak menjadi masalah, ketiganya merupakan tindakan tercela yang ingin kita berantas.
Istilah KKN dianggap dimengerti semua orang, tetapi begitu dibahas lebih mendalam, ternyata orang mempunyai konsep atau definisi yang berbeda satu dengan yang lain. Tentu diskusi atas dasar konsep yang dikira mempunyai satu arti, padahal tidak, ini dapat menjadi simpang siur. Ini hampir menjadi jaminan akan tidak adanya program atau tindakan yang nyata untuk menghilangkannya.
Kecenderungan sekarang, nampaknya yang dimaksud masalah KKN adalah masalah korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pak Harto dan keluarga serta kroninya. Ini selain tidak lengkap juga rancu secara operasionalnya. Misalnya jawaban terhadap pertanyaan siapa itu keluarga dan kroni pak Harto? Keluarga mungkin jelas, tergantung kepada seberapa jauh akan di tarik hubungan darahnya. Akan tetapi bagaimana dengan kroninya? Bagaimana kita membuat batas mana yang termasuk kroni dan mana yang bukan? Apakah seperti kepemilikan saham perusahaan, kalau kedekatannya sekian persen dianggap kroni yang kurang dari itu bukan. Ini tidak gampang. Yang jelas, karena caci makian terus ke pada pak Harto dan keluarganya, maka semua yang semula getol menunjukkan kedekatannya sekarang sibuk menunjukkan kejauhannya. Yang berhasil menunjukkan kejauhannya dianggap bukan kroninya, sedangkan yang tidak, atau karena tidak dipercaya atau karena tidak ikut bicara, dimasukkan sebagai kroninya.
Selain itu juga terdapat masalah, bagaimana memulai proses peanganannya sehingga masyarakat yakin bahwa seluruh masalah KKN akan diselesaikan secara tuntas. Misalnya dimulai dengan mantan Presiden dan keluarganya, seperti sekarang terkesan demikian. Ini baik. Akan tetapi perlu ada kejelasan bagi masyarakat, bagaimana program penanganan ini secara keseluruhan, apakah ini tahap permulaan yang akan diikuti dengan yang lain, bagaimana strategi pendekatannya, ini semua perlu kejelasan, sehingga masyarakat mengetahui kesungguhan dari usaha ini. Saya yakin masyarakat menghendaki hal ini. Penanganannya harus tuntas, terbuka dan adil. Karena masalahnya rumit dan penanganannya memakan waktu, maka kejelasan strategi penanganan secara keseluruhan perlu diumumkan agar masyarakat mengetahui dan dengan demikian memahami sampai dimana dan mengapa demikian. Keterbukaan ini juga perlu agar penganganan masalah KKN yang didasarkan atas tuntuan keadilan ini jangan sampai menimbulkan ketidak adilan baru.
Selain itu, jelas tidak benar kalau masalah KKN itu hanya menyangkut pak Harto dengan keluarga dan kroninya. Setiap tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh siapapun harus dikategorikan sebagai masalah KKN. Kalau sudah ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan KKN dengan definisi yang operasional dengan perincian kriterianya, maka pelaksanaan ketentuan ini akan menjadi lebih jelas.
Kejelasan konsep atau definisi ini sangat penting, akan tetapi baru merupakan langkah yang sangat awal untuk menentukan langkah berikutnya. Memang tanpa kejelasan ini gerakan menghapus KKN hanya mendasarkan diri atas emosi bagi yang menuntut dan politik bagi yang menangani . Penaggulangan masalah KKN sampai sekarang nampaknya dilakukan atas dasar kedekatan atau kejauhan seseorang dengan penguasa. Ini tidak menyelesaikan masalah atau membuat masalah baru. Tindakan untuk meminta pertanggung jawaban pelaku pelanggaran ketentuan KKN dengan menyeret seseorang ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas dasar laporan yang tidak jelas dan menggunakan dasar yang tidak jelas hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat saja, lebih untuk kepentingan kehumasan. Selain itu tindakan ini dapat menumbuhkan ketidak adilan baru seperti melepas yang sebenarnya bersalah atau menindak yang sebenarnya tidak bersalah.
Argumentasi perlunya suatu badan yang independen untuk menangani masalah KKN adalah agar terjadi penanganan yang adil dan efektif dari masalah ini. Dalam keadaan normal, sebenarnya penanganan oleh instansi penegak hukum yang ada - kejaksaan, kepolisian dan kehakiman - telah akan menjamin independensi lembaga yang bertugas menangani masalah ini dari campur tangan pemerintahan. Akan tetapi dalam keadaan rendahnya kredibilitas dari lembaga-lembaga ini di mata masyarakat, maka ini menjadi suatu masalah tersendiri. Ketidak jelasan arti KKN serta rendahnya kredibilitas lembaga-lembaga penegak hukum menambah komplikasi upaya pemberantasan KKN betapapun nyaringnya tuntutan masyarakat dan janji Pemerintah untuk memperhatikan tuntutan tersebut.
Tanpa adanya kejelasan arti atau definisi dari masing-masing unsur KKN, tanpa adanya program menyeluruh apa yang akan dilakukan, tindakan yang sporadis hanya menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan yang mungkin tidak perlu. Karena itu, dalam keadaan masih belum kokohnya kredibilitas aparat penegakan hukum, penanganan KKN harus didasarkan atas konsep yang jelas didefinisikan dengan kriteria atau batasan-batasannya, strategi pendekatannya secara menyeluruh dengan pentahapannya, Semua menyadari bahwa masalah ini sangat kompleks dan pelik, karena itu tidak akan selesai secara cepat. Akan tetapi justru karena itu maka kejelasan semua ini dengan pengumuman terbuka oleh Pemerintah mengenai hal-hal tadi harus dilakukan.


8 Seperti diketahui, yang sering dilakukan pengusaha di Indonesia hanya menjual barang atau jasa yang dihasilkannya dengan harga yang dikaitkan dengan dollar, meskipun mereka mengetahui bahwa pembelinya adalah pembeli domestik dengan pendapatan yang berbasis rupiah. Di Jakarta dan kota besar lainbanyak transaksi yang menggunakan basis dollar; tidak hanya tarip hotel, tetapi sewa bangunana atau apartement atau berbagai jasa lain. Argumentasinya, kan sistim devisa Indonesia bebas, jadi sama saja apakah transaksi itu dalam mata uang asing atau rupiah. Sebenarnya ini selain menyalahi ketentuan penggunaan rupiah sebagai mata uang pembayaran nasiaoanl, juga menunjukkan 'moral hazard' dari pihak yang bertransaksi bahwa sistim nilai tukar kita itu, menurut persepsi mereka ini, pada dasarnya tetap. Sinisme kita akan mengatakan bahwa ini lindung nilai (hedging) a la pengusaha kita.


MEMUSATKAN PENANGANAN MASALAH KKN PADA KORUPSI
Kalau basis untuk menentukan kesalahan ini adalah kerugian negara atau masyarakat dari tindakan yang dilakukan pejabat dan yang terkait, maka yang paling penting dari ketiga unsur dalam KKN adalah perbuatan korupsi. Ketiganya memang dapat bergandengan, sering yang satu menyebabkan yang lain atau memperburuk yang lain. Akan tetapi kalau yang menjadi dasar kesalahan adalah terjadinya kerugian negara, maka pusat perhatian harus pada tindakan atau perbuatan korupsi tersebut, untuk menentukan siapa yang malakukannya dan apa sanksi yang harus dibebankan terhadap kesalahan tersebut.
Kalau masalah korupsi ini dipisahkan dulu dari yang lain, maka kita mungkin terhindar dari sloganisasi. Tuntutan akan lebih jelas dan penyidikan masalahnya akan lebih fokus, karena itu Pemerintah lebih sukar untuk mengobral janji saja. Dalam Undang-undang tentang tindak pidana ekonomi, tindakan korupsi telah didefinisikan secara cukup eksplisit. Pada dasarnya unsur-unsurnya adalah adanya perbuatan yang melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok, yang merugikan negara. Ini mungkin bisa dibuat lebih eksplisit, tetapi minimal telah ada basisnya.
Saya kira kalau kita memusatkan perhatian pada pemberantasan korupsi, maka masalahnya akan lebih jelas dan operasionalisasinya dapat menjadi lebih nyata. Apakah hal ini bergandengan dengan kolusi dan nepotisme, bisa diteliti lebih lanjut. Bahkan kalau korupsi ini terjadi dalam rangka suatu kolusi dan nepotisme, maka pembuktiaan siapa yang teribat dalam korupsi akan menyangkut jaringan kolusi dan nepotismenya dan penyidikannya dapat langsung menjaring mereka ini semua. Tetapi yang menjadi fokus jelas, tindakan korupsi, tindakan melanggar hukum yang merugikan negara menurut suatu definisi yang pasti.
Pada dasarnya adanya hubungan keluarga antara pejabat satu dengan yang lain atau antara pejabat dan pengusaha, tidak secara otomatis menunjukkan adanya kolusi atau nepotisme yang ingin kita hilangkan itu. Nepotisme dan kolusi ini tidak hanya harus terbukti ada, akan tetapi untuk dikategorikan dalam tindakan yang tidak dikehendaki hal tersebut harus juga diukur dengan kriteria adanya pelanggaran ketentuan hukum, misalnya perbuatan tersebut telah merugikan negara atau masyarakat, sebagaimana dalam kasus korupsi.
Dalam kebanyakan masyarakat pemberian suatu surat referensi sebagai suatu 'jaminan' mengenai kualifikasi seseorang untuk menempati suatu posisi adalah diterima secara umum. Yang diharapkan tidak terjadi adalah penyalah gunaan surat referensi tersebut. Jangan sampai surat ini aspal, jangan sampai referensi ini tidak sesuai dengan kenyataannya. Ini yang tidak boleh disalah gunakan. Istilah 'katabelece' adalah untuk penyalah gunaan kebiasaan adanya referensi ini. Yang jelas agar ada kepastian ketentuannya harus jelas, mana yang boleh mana yang tidak, untuk menentukan apakah terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan oleh seseorang dan apakah sanksi terhadap pelanggaran tersebut. Dalam hal adanya tidakan korupsi ketentuannya telah jelas. Bagaimana dengan kolusi dan nepotisme?
Sekuat keinginan kita menghilangkan kolusi dan nepotisme, kita perlu secara realistis melihat, apakah ketentuan-ketentuan mengenai hal ini telah jelas? Saya takut belum. Dan ini salah satu sebab mengapa penghapusan masalah ini nampak begitu susahnya di masyarakat kita.
Mengingat kenyataan tersebut, yang harus dilakukan adalah menyusun ketentuan untuk melarang adanya kolusi dan nepotisme. Akan tetapi ini hanya menyangkut ketentuan untuk masa depan yang harus diperhatikan. Sedangkan kita juga melihat bahwa praktek kolusi dan nepotisme dalam era Orde Baru ini memang sangat mencolok. Karena itu emosi masyarakat meluap untuk menghabiskan praktek-praktek ini dan menindak para pelakunya. Ini adalah perasaan semua orang, kecuali mereka yang mempraktekkan.
Untuk masa depan nampaknya tidak sulit memikirkan, ketentuan-ketentuan kepegawaian yang masih dirasa ganjil harus benar-benar ditelusuri, demikian pula mengenai tender,kontrak, dsb. Untuk menghindarkan diri dari meluasnya nepotisme dan kolusi ini. Dulu pernah ada ketentuan tentang larangan berusaha bagi pejabat atau isteri pejabat. Tapi pelaksanaannya tidak pernah dicek. Ketentuannya hanya bersifat politis, untuk sekedar menunjukkan bahwa ada kepedulian tentang masalah ini dan enforcementnya tidak ada. Sama dengan gerakan hidup sederhana, membuat ketentuan yang membatasi jumlah tamu pesta pejabat, dst. Semuanya hanya dalam slogan tetapi tidak ada enforcement. Kerapkalai peraturan ini hanya diperuntukkan bagi orang lain diluar pembuat ketentuan dan kelompoknya, karena itu menimbulkan ketidak adilan dan semakin banyak terjadi pelanggaran tanpa ada sanksinya. Karena itu berbagai ketentuan kepegawaian harus ditinjau kembali untuk mengatasi masalah nepotisme dan kolusi ini. Misalnya dalam perbankan ada ketentuan bahwa suami isteri tidak boleh bekerja dalam instansi yang sama. Akan tetapi bagimana dengan bapak dan anak, bagaimana dengan ibu dan anak dan keluarga lain. Ini juga harus jelas. Kalau antara suami dan isteri tidak boleh bekerja dalam satu instansi karena hubungan keluarga ( ada nepotisme), sebenarnya tidak masuk akal bahwa antara bapak dan anak tidak ada larangannya. Ini harus ditentukan definisinya secara rinci, apa yang dimaksud dengan kolusi, apa yang dimaksud dengan nepotisme, dan mana yang dianggap melanggar ketentukan dan apa sanksi terhadap pelanggarannya. Yang ingin dihindarkan adalah kemungkinan timbulnya pertentangan kepentingan. Ini yang harus menjadi pegangan.
Coba kita amati betapa banyaknya praktek ini di masyarakat kita, hubungan keluarga atau kroni yang bekerja dalam satu instansi. Bagaimana masalah hubungan pejabat dari suatu instansi dengan swasta? Coba kita lihat begaimana praktek pejabat tinggi di Indonesia; hubungan suami (pejabat) dan isteri (pengusaha rekanan) dan bapak (pejabat) dengan anak (pengusaha dan rekanan). Mungkin perlu terlebih dahulu disusun daftar kekayaan dan hubungan kekeluargaan atau kroni dari pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi, seperti 'self assessment' dalam perpajakan. Sebenarnya dari dulu ada laporan daftar kekayaan pejabat tinggi, ini tentunya dapat digunakan sebagai permulaan. Daftar ini nantinya harus dicocokan dengan daftar yang disusun oleh instansi atau suatu komisi yang independent. Kalau hal ini dilakukan kita akan mempunyai daftar yang menarik. Siapa pejabat yang isteri, anak dan keluarga dekatnya bekerja dalam instansi yang sama, siapa keluarga dekat yang menjadi pengusaha rekanan dari instansi yang bersangkutan, dst. Daftar ini akan mempermudah bagaimana menelusuri masalah kolusi dan nepotisme. Instansi yang menangani penyidikan harus menggunakan daftar ini secara profesional, untuk maksud penyidikan, bukan untuk maksud lain yang juga merupakan tindakan pelanggaran hukum. Azas praduga tidak bersalah harus dihormati, bukan asal main tuduh kemudian dilakukan ancaman pembekuan rekening bank atau penyitaan aset tanpa diketahui ujung pangkalnya, selain akhirnya hilang.
Tambahan lagi orang kemudian tidak dapat seenaknya menuduh seorang pejabat atau mantan pejabat melakukan tindakan kolusi atau nepotisme. Sebanyak apapun hal ini telah terbukti, akan tetapi tidak boleh ada sikap apriori bahwa seseorang itu dianggap pelaku korupsi atau kolusi atau nepotisme hanya karena dia pejabat. Dalam ketidak jelasan sekarang, sering sebagai suatu sarana politik untuk mencemarkan nama seseorang dilontarkan saja tuduhan si A itu KKN. Permainanya hanya siapa yang lebih berani teriak dan dapat mempengaruhi media akan dianggap benar, sedangkan yang tidak cukup keras teriaknya atau bersikap diam langsung dianggap melakukan tindakan tidak terpuji ini. Jadi cara ini akan membantu penelusuran masalah KKN dan sekaligus melindungi orang yang memang tidak bersalah, dengan demikian membantu menegakkan keadilan yang sebenarnya..
Memang memprihatinkan bahwa kalau mereka ini diingatkan, apalagi kalau dituduh salah, maka jawabannya sudah tersedia, " kan bukan hanya saya yang melakukan" atau " ah, si A atau si B lebih dari saya (korupnya atau nepotismenya)" Padahal, bahkan seandainya orang lain melakukan, emangnya seseorang terus berhak untuk juga melakukannya? Orang yang percaya terhadap 'jangka Djajabaja' hanya jawab, ' kan ini memang jaman edan, kalau enggak ikut kan berabe'. Jelas percayanya pada ramalan ini hanya untuk enaknya sendiri. Kenapa menginterpretasikan Jangka Djajabaja tidak secara utuh?. (hanya 'sing ora edan ora komanan' dan 'mboya keduman milik, kaliren wekasanipun' artinya yang tidak gila tidak memperoleh bagian dan kalau tidak ikut akan kelaparan) Harusnya ambil seluruh ajaran ini yang akhirnya mengatakan " bekja bejaning sing lali, isih beja kang eling lawan waspada" artinya, seberuntung orang yang lupa diri masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada. Tetapi kita memang biasa ambil yang enak saja dari suatu ajaran, apapun bentuknya. Juga dalam hal 'panutan'. Ditengah benarnya kritik terhadap pemimpin yang tidak bener, tidak bisa jadi panutan, saya melihat bahwa panutan itu lebih gampang untuk hal yang gampang dan enak, kalau untuk yang sukar dan tidak enak, susah terlaksana. Artinya kalau 'bossnya nggak bener' maka sangat gampang para anak buah mengatakan 'habis boss nggak bener masa saya harus bener' sebagai alasan untuk ikut nggak bener. Tetapi kalau boss bener, jujur, emangnya anak buah otomatis akan ikut? Nampaknya tidak otomatis. Saya akan kembali mengenai hal ini di lain kesempatan.

1 Hal-hal ini harus dirinci lebih lanjut. Di sini dikemukakan hanya sebagai suatu gambaran.
CATATAN SEMENTARA
Mungkin kalau kita tidak terlalu ambisius menghilangkan seluruh KKN sekaligus tetapi secara sistimatis dalam suatu program, memusatkan pada masalah korupsi dulu, maka program pemberantasan KKN akan lebih jalan. Ketentuan mengenai pidana ekonomi, mengenai korupsi telah cukup jelas dan dapat dilaksanakan untuk menyidik dan memberi sanksi ke pada mereka yang melanggarnya. Dalam proses ini sebagian dari masalah kolusi dan nepotisme juga akan terungkap dan bisa dilaksanakan penindakan terhadap pelanggarnya. Akan tetapi berkaitan dengan masalah kolusi dan nepotisme yang tidak berkaitan dengan korupsi, yang dilanggar mungkin ketentuan kepegawaian atau masalah etik. Yang jelas adalah untuk ke depan, bagaimana memasukkan rambu-rambu menghalangi tumbuhnya kolusi dan nepotisme ini dalam peraturan kepegawaian dan ketentuan mengenai tender, kontrak, serta ketentuan mengenai 'governance' pada umumnya. Mengenai langkah ke depan menghilangkan masalah KKN saya menekankan pada sikap untuk menjauhi kebiasaan hidup lebih besar pasak dari tiang pada tulisan lain.
Cambridge, MA June 1999.

2 Baca tulisan saya,Hidup Lebih Besar Pasak Dari Tiang Sebagai Penyebab KKN : Tantangan Bersama Masyarakat Indonesia.

Titip Email Anda, Posting Terbaru Otomatis ke EmailBoxnya. Mari Berbagi

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Terima kasih atas kunjungan anda ...........
Bukan hal yang mudah untuk membuka dan menjalin sebuah ikatan
...........
Bukan hal yang mudah untuk merawat dan melanggengkan sebuah ikatan ...........
Bukan hal yang mudah mengembangkan jalinan komunikasi dalam sebuah ikatan ...........
Bersama kita dalam jalinan komunikasi hangat dan mencerahkan ...........
bersama kita melangsungkan aktivitas berdemokrasi dengan sehat
...........
bersama kita membangun moral bangsa menuju Indonesia Sejahtera, Hijau, Bersih dan Mandiri serta ber Akhlak ...........Amin
Terima kasih ...
dan Salam
Akurasi Survei Indonesia (ASI)

Politics & Bussines Professional Consultant
Centrum Building Jakarta (085215497331)
Jl. Majapahit UV/5 Jakarta Pusat-10160


Reuters: Food Crisis

Akurasi Survei Indonesia Consultant Blog Group

Blog Akurasi Survei Indonesia ini merupakan BlogGroup dari Blog AsrulHoeseinBrother, Blog ini menjadi media dari Group Blog saya dan Blog Anda. atau di Blog ini fokus Artikel Strategi Bisnis, Strategi Penjaringan Massa (Konstituen), Antisipasi Pencemaran Alam,Motivasi Diri dan Kepemimpinan, ESQ serta Artikel Entrepreneurship Yakin N Percaya karena media ini pasti menambah info, promosi dan wawasan sesama blogger serta promosi produk perusahaan atau kegiatan institusi dan LSM/NGO Anda. Silakan Promosi diBlog ini, disini dan disini atau di facebook disini. Anda klik disini gabung di FB komunitas Gerakan Indonesia Hijau, dan klik disini. silakan copas Bro, cuma syaratnya pasang link saja dan saya juga buka KomposterGeraiOnline dan Pupuk Organik Tablet Gramafix klik di sini. mau bermitra dengan group usaha prinsipal PT. Cipta Visi Sinar Kencana, Bandung atau Produsen Pupuk Organik cv. Triasakti Mitratani, silakan kontak, Kerjasama Menjadi Bisa dan Indah. dan klik di sini pada geliat di LM3 (Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat) Nafiri Manado, Sulawesi Utara, di sini. LM3 Ponpes Al-Izzah, Balikpapan, Kalimantan Timur, di sini. LM3 Ponpes Asy-Syifa, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan Klik di SINI, Advertising Product cv. TriasMuda SaranaMedia. di sini Terima Kasih

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Macys Printable Coupons